BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum menguraikan pengertian reasuransi, terlebih dahulu
akan diuraikan pengertian asuransi, karena timbulnya reasuransi tersebut
tidak lain diawali dengan adanya asuransi. Pengertian asuransi atau
pertanggungan dapat dilihat dalam ketentuan pasal 246 KUHD yang menentukan
: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan nama
seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan
menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan,
yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Menurut Undang-Undang Bisnis Asuransi, usaha
reasuransi merupakan usaha yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang
terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi.
Pada reasuransi ada asuransi kerugian umum, yang menliputi asuransi kebakaran; asuransi laut; dan asuransi mobil.
Kemudian dalam Pasal 16 ayat (1) PP No. 73 Tahun 1992 ditentukan bahwa
setiap perjanjian reasuransi harus dibuat secara tertulis dan tidak merupakan
perjanjian yang menjanjikan keuntungan pasti bagi penanggung ulang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian reasuransi?
2. Apa yang dimaksud dengan
reasuransi umum?
3. Bagaimana reasuransi pada asuransi
jiwa?
4. Jelaskan dasar-dasar fungsi
asuransi!
5.
Bagaimana
kepastian hukum pada perjanjian reasuransi?
6. Bagaimana metode penempatan dan
bentuk-bentuk reasuransi?
7. Siapa saja pelaku usaha
reasuransi?
8. Bagaimana hak dan kewajiban
perusahaan reasuransi apabila terjadi likuidisi?
9. Bagaimana penyelesaian klaim
reasuransi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Apa pengertian
reasuransi
2. Untuk mengetahui reasuransi umum
3. Untuk mengetahui bagaimana
reasuransi pada asuransi jiwa
4. Untuk Mengetahui dasar-dasar
fungsi asuransi
5. Untuk mengetahui metode penempatan
dan bentuk-bentuk reasuransi
6. Untuk mengetahui pelaku usaha
reasuransi
7. Untuk mengetahui bagaimana hak dan
kewajiban perusahaan reasuransi apabila terjadi likuidisi
8. Untuk mengetahui penyelesaan klaim
reasuransi.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Asuransi
Reasuransi ialah mempertanggungkan
kembali sejumlah risiko oleh suatu perusahaan asuransi kepada perusahaan
asuransi lainnya (reinsurer).[1]
Perjanjian reasuransi adalah
perjanjian di antara satu pihak untuk mempertanggungkan kembali risiko yang
telah diterimanya kepada pihak lain.[2]
Menurut Blacks Law Dictironary,
reasuransi adalah asuransi atas semua atau sebagian dari risiko yang ditanggung
oleh sebuah perusahaan asuransi oleh penanggung kedua yang menerima risiko
dengan imbalan suatu persentase dari premi asli.
Reasuransi adalah suatu alat bagi
sebuah perusahaan asuransi untuk menghindarkan ancaman bencana katastropik
dalam pelaksanaan mekanisme asuransi.[3]
KUH Perdata dan KUHD tidak memuat
pengertian dari perjanjian reasuransi. Pengertian perjanjian reasuransi secara
khusu tidak pula ditemukan dalam Undang-Undang Bisnis Asuransi.[4]
Menurut Undang-Undang Bisnis
Asuransi, usaha reasuransi merupakan usaha yang memberikan jasa dalam
pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi.[5]
Istilah reasuransi telah
menimbulkan banyak kebingungan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan
istilah tersebut, sehingga seringkali dikaitkan dengan risiko-risiko yang
dialihkan, risiko-risiko yang diterima, konsolidasi dan pengganbungan, asuransi
atas risiko di atas jumlah tertentu (excess insurance), dan dalam kaitan
lain-lain. Istilah tersebut sekarang tidak lagi memiliki pengertian tunggal.
Bagi praktisi hukum asuransi, istilah reasuransi hanya mempunyai satu
pengertian, yaitu pengalihan risiko oleh suatu penanggung kepada penanggung
lain atas semua atau sebagian dari risikonya atas imbalan sebagian premi yang
ada dan dalam perjanjian tersebut tanggung jawab reasuradur semata-mata kepada
penanggung. Dalam perjanjian tersebut pihak yang merasuransikan yang memelihara
semua hubungan dengan tertanggung asli dan menangani semua urusan sebelum dan
sesudah timbul klaim. Dengan demikian reasuransi berfungsi sebagai suatu
mekanisme pengalihan dan penyebaran risiko bagi perusahaan asuransi untuk
melindungi dirinya dari bencana kesulitan keuangan kepada perusahaan lain.
Penyebaran risiko atau ancaman yang terkait dengan bisnis penjaminan risiko
tersebut berdasarkan mekanisme perjanjian reasuransi memungkinkan penanggung
untuk menjamin risiko melebihi kemampuan sendiri dengan memanfaatkan dukungan
kekuatan finansial pihak ketiga.[6]
B. Reasuransi umum
Reasuransi umum kita jumpai pada
asuransi kerugian seperti:
a. Asuransi kebakaran;
b. Asuransi laut;
c. Asuransi mobil.[7]
Dapat kita golongkan beberapa
macam reasuransi umum yang ada kaitannya dengan sifat kontrak yang telah
dibuat.
a. Reasuransi
fakultatif
Reasurasni fakultatif tidak
mutlak, yang berarti apa yang hendak direasuransikan dirundingkan terlebih
dahulu.
Setiap risiko yang akan
dipindahkan dipertimbangkan sendiri oleh masing-masing perusahaan asuransi.
Perusahaan reasuransi dapat menerimanya atau menolak risiko yang dipindahkan
padanya. reasuransi bisa terlaksana bilamana telah tercapai persetujuan antara
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.
b. Reasuransi
dengan perjanjian
Sebelum diadakan kontrak
reasuransim terlebih dahulu diadakan perjanjian; perusahaan asuransi berhak
untuk menentukan risiko-risiko mana yang ditanggung sendiri oleh perusahaan.
Setelah itu baru ditetapkan jumlah yang hendak direasuransikan.
Reasuransi dengan perjanjian ini
dapat kita bagi lagi atas:
1) Reasuransi
perjanjian otomatis
Perusahaan asuransi menetukan
terlebih dahulu semua risiko dalam perusahaan. Setelah itu ditetapkan batas
retensi, berapa risiko yang ditahan dalam perusahaan. Sisanya dipindahkan
kepada perusahaan reasuransi (reinsurer), dengan mana secara otomatis
diterima oleh perusahaan reasuransi tersebut.
2) Reasuransi
perjanjian dengan quota share
Dalam bentuk ini ditentukan berapa
bagian (%) yang akan dipikul oleh masing-masing pihak bilamana terjadi
kerugian. Jadi, pembagian risiko segala sesuatu di atas retensi akan
diperhitungkan oleh masing-masing perusahaan.
Umpama:
Quota share dikatakan 60% oleh perusahaan
asuransi 40% lebih perusahaan reasuransi.
Bila kerugian di ata batas
retensi, katakanlah Rp. 100.000,00, maka 60% akan ditanggung oleh perusahaan
asuransi (Rp. 60.000,00) sedangkan 40% akan ditanggung oleh perusahaan
reasuransi (Rp. 40.000,00).
c. Reasuransi
atas dasar excess of loss
Perjanjian reasuransi dengan excess of
loss umumnya dipakai bilamana:
1) Jumlah uang pertanggungan besar;
2) Jumlah kerugian-kerugian yang
besar pula, di atas batas retensi.
Untuk memperkecil risiko,
perusahaan asuransi mengadakan perjanjian excess of lossreinsurance.
d. Retrosessi
Retosessi ialah mereasuransikan kembali yang
telah direasuransikan. Retosessi kita temui karena perusahaan reasuransi
tidak sanggup menerima/menanggung semua risiko yang dipindahkan padanya, untuk
kemudian digeserkan lagi kepada reinsurer yang lain. Hal ini disebabkan
karena:
1) Batas retensi perusahaan terbatas;
2) Risiko-risiko besar, dalam arti
jumlah yang dipertanggungkan.
Jadi perlu diadakan retosessi
untuk memperkecil kerugian/risiko-risiko yang mungkin dideritanya.[8]
C. Reasuransi pada Asuransi Jiwa
Kontrak Reasuransi
pada Asuransi Jiwa dapat kita bagi atas dua macam, yaitu:
1.
Reasuransi
secara otomatis (automatic reinsurance
contact);
2.
Coinsurance tidak dipergunakan
di indonesia.
Dalam penggunaan automatic
contract yang lazim dipakai ialah sistem yang berdasar kepada pembayaran
natural premium (increasing premium).
Untuk
asuransi biasa, sistem pembayaran premi dengan natural premium tidak
dipergunakan orang, yang banyak digunakan ialah pada asuransi jiwa terutama
pada reasuransi. Oleh karena itu, dalam asuransi jiwa dalam reinsurance yang direasuransikan ialah annuitu of risks. Selain daripada automatic contracts dipakai pula facultive contracts (kontrak secara
fakultatif)
Umpama:
Umpama:
Reinsurance
pada life insurance banyak
dijalankan, karena dalam hal ini sejalan dengan increasing of risk (meningkatknya risiko sebab bertambah tua
seseorang, risiko bertambah besar)[9]
D. Dasar-Dasar Fungsi Asuransi
Melindungi
perusahaan dari kerugian tidak biasa Fungsi reasuransi dapat dikelompokan
sebagai berikut :
a. Menaikkan kapasitas perusahaan untuk menutup lebih banyak asuransi bagi pemegang
polis, baik melalui jumlah pola yang lebih banyak ataupun nilai pertanggungan
yang lebih tinggi.
b.
Melindungi
perusahaan dari kerugian tidak biasa yang bersifat katastropik.
c.
Menjaga
kestabilan hasil usaha asuransi (underwritting
result) dengan mencegah fluktuasi yang tinggi dari berbagai rasio, operasi
operasi dari tahun ke tahun.
d.
Sebagai
fasilitas untuk mempertahankan surplus perusahaan.[10]
e.
Memperoleh
bantuan teknis dan keahlian yang dapat sangat berharga bagi penanggung, baik
dalam memasuki bisnis maupun melakukan perluasan kepada bidang-bidang baru.
Satu atau lebih dari tujuan-tujuan di atas mungkin tersedia dalam
setiap program reasuransi, dirancang sesuai keperluan masing-masing penanggung.[11]
E.
Kepastian
hukum pada perjanjian reasuransi
Dalam Pasal 16 ayat (1) PP No. 73 Tahun 1992 ditentukan bahwa
setiap perjanjian reasuransi harus dibuat secara tertulis dan tidak merupakan
perjanjian yang menjanjikan keuntungan pasti bagi penanggung ulang.
Perjanjian reasuransi adalah perjanjian antara perusahaan asuransi
dan pihak ketiga yang akan menjamin perusahaan asuransi dari kerugian.
Perjanjian tersebut memberikan kewajiban kepada pihak ketiga untuk membayar
kerugian yang timbul kepada penanggung apabila penanggung melakukan pembayaran
berdasarkan polis asli. Sebagai suatu mekanisme pengalihan risiko dari
penanggung ke reasuradur, penyelesaian klaim adalah hal pokok dalam perjanjian
reasuransi. Penyelesaian klaim dari reasuradur merupakan kunci bagi penanggung
untuk memenuhi kewajibanya kepada tertanggung apabila timbul klaim.
Sementara perjanjian reasuransi merupakan perjanjian tertulis,
sebagian besar transaksi reasuransi dibuat secara ringkas dan sederhana
sehingga terdapat hal-hal penting yang belum tentu dicantumkan dengan jelas
dalam perjanjian reasuransi terutama menyangkut kewajiban reasuradur apabila
timbul klaim. Industri asuransi secara universal mengisi kekosongan tersebut
dengan penerapan asas yang disebut asas Follow the Fortune. Asas Follow
the Fortune mencakup setiap hal “ yang dalam suatu hubungan asuransi,
berkembang secara automatis dari risiko asli tanpa tindakan apap pun dari pihak
penanggung”, Risiko asli terdiri dari risiko yang terdapat dalam asuransi atas
kepentingan yang diasuransikan (underwriting risk) dan risiko membuat
perjanjian asuransi (contract risk).
Berdasarkan sejarahnya, asas Follow the Fortune merupakan
klausul penyelesaian klaim. Dalam perkembangannya, ha,pir semua yurisdiksi
menganggap klausul-klausul seperti ini sebagai asas Follow the Fortune
dan memberikan definisi sebagai klausul pembayaran kerugian yang dalam hal
tidak terdapat ketentuan yang bertentangan, mengikat reasuradur untuk membayar
bagiannya atas penyelesaian klaim yang timbul yang dilakukan oleh penanggung di
bawah polis asli, kecuali apabila kerugian di luar lingkup asuransi berdasarkan
hukum. Atau kerugian dalam hal perjanjian reasuransi yang berjalan bersamaan
dengan polis yang menjadi dasar perjanjian reasuransi, di luar polis menurut
hukum; atau penyelesaian klaim bersifat penipuan, hadil tindak kolusi, tidak
mengandung itikad baik atau dilakukan secara tidak jujur; atau penanggung telah
gagal mengambil langkah-langkah bisnis sewajarnya yang dianggap perlu dengan
secara patut dan hati-hati menyelidiki dan menentukan jumlah kerugian.
Istilah Follow the Fortune ditemukan dalam perjanjian
reasuransi yang memuat persetujuan reasuradur untuk mengikuti klaim penanggung
yang timbul dari perjanjian asuransi sesuai dengan persyaratan-persyaratan
perjanjian tersebut. Dampak dari istilah tersebut adalah bahwa reasuradur
berbagi hasil underwriting (underwriting fortune) atau hasil
usaha, baik atau buruk yang menimpa penanggung. Reasuradur tidak diwajibkan
untuk membayar klaim-klaim ex gratia di bawah ketentuan ini tetapi mungkin
setuju untuk mengikutinya. Follow the Fortune adalah sebuah klausul
dalam perjanjian reasuransi yang menyatakan keinginan untuk membangun kemitraan
sehingga reasuradur ikut menanggung (share) apap pun nasib, baik atau
buruk, yang menimpa pihak yang mereasuransikan.
Untuk memastikan “integritas dan daya tawar reasuradur”, pada tahun
1985 dalam kauss Scor, pengadilan banding menyimpulkan bahwa, secara
umum, janji reasuradur “untuk mengikuti penyelesaian klaim’ dibuat dengan tiga
persyaratan. Pertama, sebgaimana ditegaskan oleh Lord Mustill salam
kasus Hill, “bahwa klaim yang diakui oleh mereka sah termasuk dalam
lingkup risiko yang ditanggung dalam polis reasuransi’; kedua, bahwa
“dalam menyelesaikan klaim, penanggung telah bertindak secara jujur; dan ketiga,
bahwa “mereka telah mengambil semua
langkah-langkah yang wajar dan sesuai aturan bisnis dalam melakukan
penyelesaian. Reasuradur berhak untuk membuktikan apabila dikehendaki, bahwa
suatu penyelesaian tidak memenuhi satu dari tida persyaratan tersebut. Banyak
litigasi yang timbul didasarkan pada persyaratan-persyatan tersebut beserta
pertanyaan terkait tentang jangkauan keharusan reasuradur untuk mengikuti dan
tidak membantah apa yang telah diselesaikan. Oleh karena itu, apabila tanggung
jawab hukum telah diputus oleh pengadikan, reasuradur terikat bukan hanya pada
hasilnya, yang dalam hal ini tanggung jawab hukum penanggung, tetapi juga atas
apa yang pengadilan temukan atau putuskan untuk mencapai hasil tersebut.
Tetapi, House of Lords membalik putusan dalam kasus Axa RE (UK) plc v
Filed (1996) tersebut. Akibatnya, adalah masih tidak jelas sejauh mana
penafsiran perjanjian asuransi utaa akan mempengaruhi perjanjian reasuransi.
Gambaran tersebut menuntut kehati-hatian semua pihak dala pembentukan perjanjian
reasuransi dan penyelesaian klaim yang timbul.
Tidak berbeda halnya dengan asas-asas yang berlaku umum terhadap
sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata, yaitu kebebasan
berkontrak, asas konsesualisme, asas pacta sunt servanda dan asas itikad
baik, perjanjian reasuransi berlandaskan asas-asas yang sama. Asas kebebasan
berkontrak sudah menjadi praktik umum karena perjanjian reasuransi terutama
perjanjian reasuransi fakulatif yang sederhana dan ringkas walaupun tidak ada
pembatasan dari bentuk yang dapat diberlakukan. Industi asuransi adalah
salahsatu bidang usaha yang sangat mengandalkan adegium itikad sangat
baik sebagai landasan kerjasama karena bisnis asuransi sangat tergatung kepada
reputasi dan elemen kepercayaan. Perjanjian reasuransi juga tunduk kepada asas
kepribadian sebagai dasar menilai untuk menerima atau menolak suatu risiko yang
ditawarkan. Dari pengertian asas Follow teh Fortune di atas, tampak
bahwa landasan penerapan asas Follow the Fortune dalam perjanjian
reasuransi berkaitan erat dengan asas itikad baik dalam KUH Perdata.
Perjanjian reasuransi juga mengenal asas kepatutan dan kebiasaan.
Asas kepatutan dan kebiasaan bertujuan untuk menjaga suatu perjanjian dari
kemungkinan terdapat hal-hal yang terlupakan (dalam suatu perjanjian tertulis)
atau pun hal-hal yang dianggap sudah dengan sendirinya dilakukan atau dipenuhi
ataupun dianggap wajar secara automatis telah merupakan suatu bagian dari suatu
perjanjian walaupun tidak tertulis kecuali bila ditentukan lain dalam perjanjian
terkait.
Pada perjanjian komersial, kewajiban yang disepakati para pihak
dicantumkan dalam suatu perjanjian tertulis resmi sementara untuk orang awam
seringkali persetujuan tertulis sudah mencukupi. Persyaratan kontrak telah
secara tegas disepakati oleh para pihak tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya
karena di bawah hukum, baik melalui ketentuan perundang-undangan maupun praktik
dagang (trade usage), dapat memuat secara diam-diam (implied)
persyaratan tambahan ke dalam kontrak. Di samping itu, pengadilan dalam
memasukan (imply) ke dalam kontrak setiap persyaratan yang menurut
pengadilan penting untuk emberikan efektivitas komersial suatu kontrak, atau di
mana pengadilan penting untuk mempertimbangkan bahwa suatu persyaratan khusus
seharusnya sudah termasuk di dalam suatu kontrak tetapi tertinggal secara tidak
sengaja oleh para pihak.
Hal tersebut berarti bahwa suatu perjanjian dapat baik tersurat
maupun tersirat sebagaimana tampak pada pasal 1339 KUH Perdata yang berkaitan
erat dengan hal-hal yang tidak secara tegas diperjanjikan seperti tercantum di
bawah ini
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga utnuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Ketentuan pasal 1339 KUH Perdata tersebut didukung pula oleh
ketentuan pasal 1347 KUH Perdata yang berbunyi:
Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap
secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas
dinyatakan.
Mengingat sebagian besar penempatan reasuransi atas objek asuransi
di Indonesia ditempatkan ke luar negeri, akan timbul pertanyaan mengenai
kekuatan ketentuan hukum dalam KUH Perdata tersebut apabila dihadapkan pada
pengujian di badan peradilan asing terutama pada negara-negara yang menganut
sistem common law apalagi menganut Nota atau Slip Reasuransi Fakulatif
dibuat secara sederhana dan umumnya tidak mencantumkan pilihan hukum dan forum
penyelesaian sengketa. Tidak tedapat perbedaan di ASEAN dimana perjanjian
(Slip) Reasuransi pada umumnya dibuat dalam bentuk yang ringkas dan tidak
memuat pilihan hukum dan forum penyelesaian sengketa.[12]
F.
Jenis-Jenis
Reasuransi
Perjanjian reasuransi terdiri atas 2 jenis Utama, yaitu Reasuransi
Proporsional dan Reasuransi Excess of
Loss. Jenis paling umum dari reasuransi Proporsiolnal adalah Quota Share Reisurance dan Surplus Share Reinsurance. Dalam kedua jenis tersebut pembagian klaim
antara penanggung dan reasuradur dilakukan secara prorata. Pada reasuransi Excess of Loss, pembagian klaim tidak
dilakukan secara proporsional tetapi untuk kerugian yang melebihi jumlah
tertentu yang disepakati.
Bentuk perjanjian reasuransi dapat dibagi dalam dua penggolongan
utama, yaitu reasuransi fakultatif dan reasuransi treati atau reasuransi
automatis. Pada jenis reasuransi fakultatif, penanggung terlebih dahulu harus
menawarkan dan menegosiasikan dengan reasuradur (penanggung ulang) setiap
risiko yang hendak direasuransikan untuk ditolak atau diterima dengan
syarat-syarat tertentu oleh reasurasur. Penanggung tidak terikat untuk
mengajukan risiko-risiko tersebut sejak awalanya dan reasuradur tidak terikat untuk
menerimanya. Di bawah perjanjian reasuransi treati
atau automatis, reasuradur menyetujui[13]
dimuka untuk menerima sebagian dari penerimaan keseluruhan portofolio (gross)
dari penanggung atau sebagian dari risiko-risiko tertentu yang memenuhi
ketentuan underwritting reasuransi dari reasuradur. Pada umumnya, penanggung
wajib untuk memberikan suatu bagian dari risiko yang termasuk dalam lingkup
perjanjian reasuransi autoatis yang disepakati kepada reasuradur dan reasuradur
wajib menerimanya. Tetapi terdapat juga jenis reasuransi automatis yang
mempersyaratkan penanggung untuk memberikan penawaran terlebih dahulu kepada
reasuradur dan reasuradur wajib menerima setiap resiko yang ditawarkan ataupun
yang dibuat dengan ketentuan lainnya.
Pada Reasuransi treati terdapat dua jenis perjanjian utama, yaitu proportional reinsurance dan excess-loss reinsurance. Proportions
reinsurance mengharuskan reasuradur menanggung setiap kerugian yang timbul di
bawah perjanjian tersebut. Beberapa bentuk proportions
reinsurance adalah qouta
share treaty dan surplus treaty yang
masing-masing membebankan kepada reasuradur jumlah [14]yang
proporsional dengan penerimaan reasuransi yang diperjanjikan atas setiap
kerugian yang timbul. Dalam quota share treaty. Reasuradur menanggung setiap klaim
yang dibayar sedangkan[15]dalam
surplus treaty. Penanggung mereasuransikan jumlah di atas risiko yang ditahan
sendiri dan kwajiban reasuradur adalah atas jumlah yang diperjanjikan.
Sementara itu, pada excess- loss reinsurance. Reasuradur hanya akan bertanggung
jawab atas klaim yang timbul yang melebihi jumlah tertentu. Bentuk reasuransi
yang lain adalah pooling yang memiliki kemiripan dengan konsep quota share
treaty dan umum dilakukan pada asuransi penerbangan dan asuransi kapal laut.
Jenis reasuransi adalah sesuatu yang bersifat universal sehingga pada umumnya
jenis-jenis reasuransi yang dikenal pada setiap negara adalah sama.[16]
G.
Kedudukan
dan hubungan hukum para pihak dalam perjanjian reasuransi
Dalam KUHD dan Undang-undang Bisnis Asuransi tidak terdapt pernyataan
tegas mengenai hubungan hukum antara tertanggung dengan reasuradur. Dari
ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata bahwa perjanjian hanya mengikat para pihak
yang saling mengikatkan diri, dapat disimpulkan bahwa perjanjian reasuransi
adalah sepenuhnya perjanjian antara penanggung pertama dengan reasuradur.
Perjanjan ini dapat berlanjut menjadi perjanjian retrosesi, yaitu pengalihan
risiko dari suatu reasuradur kepada reasuradur lainnya. Sebagai perbandingan,
pada pasal 27 Hukum Bisnis Asuransi Vietnam, secara tegas dicantumkan bahwa
penanggung bertanggung jawab sepenuhnya kepada tertanggung atas perjanjian
asuransi yang ditutupnya termasuk atas bagian yang direasuransikan. Ketentuan
tersebut juga menegaskan bahwa kecuali dipejanjikan lain, perusahaan yang menerima
risiko reasuransi tidak diizinkan meminta tertanggung untuk membayar premi
langsung kepadanya. Tidak ditemukan ketentuan khusus di Malaysia, dan Filiphina
sehingga dapat disimpulkan dari pengertian bahwa “para pihak yang mengikatkan
diri” adalah penanggung dan tertanggung, maka kecuali disepakati secara
tersendiri, tiak ada hubungan hukum antara tertanggung dan reasuradur.
Tentang hubungan dan tanggung jawab para pihak, dari buku Reinsurance
disebutkan antara lain bahwa reasuransi bukan pengambilalihan atau substitusi
oleh satu peanggung atas lainnya. Penanggung tetap bertanggung jawab kepada
pemegang polis, terlepas dari apakah direasuransikan atau tidak, dan apakah
berhasil menarik klaim dari reasuradur
atau tidak. Sehingga penanggung harus berhati-hati dalam memilih reasuradur.
Reasuransi bukan kontrak penunjukan pihak ketiga. Pemegang polis dalam polis
asli (tertanggung) tidak memiliki hubungan langsung dengan reasuradur, dan
tidak memiliki hak untuk menagih langsung kepada reasuradur atau memaksa
pelaksanaan oleh reauradur.[17]
H. Metode Penempatan dan
Bentuk-Bentuk Reasuransi
a.
Metode Penempatan Asuransi
1.
Fakultatif
Ciri pokok penempatan reasuransi secara fakultatif
adalah adanya kebebasan baik untuk Ceding
Company maupun Reasuradur. Ceding
Company bebas untuk mereasuransikan pertanggungan yang ditutup, dan
Reasuradur bebas pula untuk menerima atau menolak obyek pertanggungan yang
tersebut.
Kebebasan yang diberikan masing-masing pihak dalam penempatan
reasuransi secara facultatif ini
menunjukkan proses yang hampir sama dengan penutupan asuransi langsung yang
dilakukan antara Penanggung dengan Tertanggung. Ceding Company, melalui penawaran secara individual (risiko per
risiko) kepada Reasuradur, harus full disclosure dalam memberikan data dan
informasi mengenai obyek pertanggungan yang ditutup. Ceding Company juga perlu memberikan informasi mengenai terms &
conditions atas penutupan tersebut, termasuk kemampuan sendiri (net retensi)
Ceding Company. Sebelum memutuskan apakah penawaran dari Ceding Company diaksep
atau ditolak, reasuradur melakukan penilaian dan pertimbangan, khususnya yang
mencakup aspek underwriting atas obyek pertanggungan tersebut.
Hambatan yang dihadapi dalam penempatan secara facultatative ini
antara lain:
a.
Memerlukan
banyak tambahan pekerjaan, sehingga biaya administrasi baik pada Ceding Company
maupun Reasuradur menjadi tinggi, mengingat banyaknya data dan informasi yang
harus disampaikan.
b.
Waktu
yang dibutuhkan untuk menempatkan reasuransi cukup lama, khususnya untuk
pertanggungan yang mempunyai nilai risiko tinggi dan melebihi batas kapasitas
Ceding Company. Terkadang penempatan reasuransi ini melibatkan partisipasi
Reasuradur yang cukup banyak untuk ikut mendukung pertanggungan ini.
c.
Kepastian
mengenai penutupan pertanggungan tidak dapat langsung diterima oleh
Tertanggung, sehingga kurang dapat mendukung operasional perusahaan asuransi.
Disamping hambatan seperti tersebut di atas, penggunaan cara
facultative masih banyak dipakai oleh perusahaan asuransi, dengan alasan:
a.
Pertanggungan
tersebut telah melebihi kapasitas otomatis (Treaty) yang dimiliki perusahaan
asuransi.
b.
Termasuk
risiko-risiko yang dikecualikan Treaty.
c.
Membatasi
liability Ceding Company dan Reasuradur dalam Treaty terhadap risiko-risiko
yang mempunyai tingkat bahaya yang cukup tinggi.
d.
Mengurangi
beban perusahaan asuransi dalam menghadapi akumulasi risiko yang terlalu besar
dalam suatu wilayah atau lokasi tertentu.
e.
Mengadakan
pertukaran business dengan perusahaan asuransi lain (reciprocity).
f.
Mendapatkan
pengalaman dan keahlian yang dapat diperoleh dari Reasuradur, dalam hal risiko
yang sifatnya khusus.
2.
Treaty
Penempatan
reasuransi dengan cara Treaty dilakukan melalui suatu perjanjian antara Ceding
Company dan Reasuradur berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disetujui bersama.
Dalam perjanjian ini, Ceding Company wajib mereasuransi dan reasuradur wajib
menerima seluruh risiko yang termasuk dalam perjanjian tersebut.
Dalam
perjanjian ini Ceding Company diwajibkan untuk mereasuransikan pertanggungan
yang telah diaksep kepada Reasuradur, dan Reasuradur wajib menerima
pertanggungan tersebut.
Sebelum
tercapainya kesepakatan, Ceding Company dan Reasuradur melakukan negosiasi
mengenai syarat dan kondisi perjanjian Treaty ini. Ceding Company harus
memberikan data & informasi secara lengkap kepada Reasuradur seperti detail
portfolio business yang akan direasuransikan, underwriting policy Ceding
Company, Statistik atau pengalaman treaty selama beberapa tahun terakhir. Hal
ini sangat diperlukan mengingat dukungan reasuransi yang diberikan Reasuradur
bersifat otomatis dalam suatu jangka waktu tertentu. Dalam hal ini, Reasuradur
telah memberikan suatu kepercayaan penuh kepada Ceding Company untuk menerima
risiko-risiko yang sesuai dengan syarat dan kondisi yang sesuai dengan syarat
dan kondisi yang ada dalam perjanjian Treaty.
Keuntungan yang
diperoleh dengan cara Treaty ini antara lain adalah :
a.
Kepastian
dukungan reasuransi secara otomatis atas obyek pertanggungan yang ditutup telah
diperoleh, sehingga akan membantu perusahaan asuransi dalam menjalankan
operasionalnya.
b.
Biaya
administrasi yang lebih kecil dibanding dengan cara facultative, mengingat
seluruh risiko-risiko dapat seluruhnya di-ceded dalam Treaty tanpa harus
menawarkan terlebih dahulu kepada Reasuradur.
3.
Fakultative
Obligatory
Facultative Obligatory merupakan kombinasi dari cara facultative
pada Ceding Company dan adanya obligation (kewajiban) bagi Reasuradur untuk
menerima risiko yang direasuransikan.
Ceding Company tidak mempunyai keharusan untuk memberikan risiko
kepada Reasuradur, dan wajib diterima oleh Reasuradur apabila risiko tersebut
direasuransikan oleh Ceding Company.
Seperti juga Treaty, cara penempatan facultative obligatory juga
berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disetujui bersama melalui suatu
perjanjian. Dengan demikian facultative obligatory juga merupakan tambahan
kapasitas otomatis yang dimiliki oleh perusahaan asuransi sebagai Ceding
Company.
Risiko-risiko yang diberikan oleh Ceding Company kepada Reasuradur,
umumnya didistribusikan setelah penggunaan secara penuh kapasitas otomatis
dalam treaty, dengan besarnya limit sesuai dengan kelipatan dari kemampuan
sendiri Ceding Company, yang disebut dengan “Line”.
Untuk kondisi-kondisi tertentu, facultative obligatory dalam
prakteknya sering disebut dengan Open Cover, Broker’s Cover, dan Lines Slip.
4.
Pools
Pool adalah suatu bentuk perjanjian diantara beberapa perusahaan
asuransi untuk menempatkan jenis asuransi tertentu dalam suatu sentral, yang
kemudian akan dikembalikan ke masing-masing anggota, atau diretrossesikan
kepada Retrocessionaire.
Pembentukan Pools antara lain disebabkan oleh adanya persetujuan
untuk mengaksep risiko-risiko besar dan mempunyai tingkat risiko besar (large
and hazardous risks) yang disebut “Market Pool”, adanya intervensi pemerintah
yang disebut “Goverment Pool”, dan jenis asuransi tertentu yang disebut
“Underwriting Pool”.
Sistem ini dikelola oleh suatu “Organisasi” yang menerima Business
yang diberikan oleh perusahaan asuransi, baik secara langsung, facultative,
maupun Treaty, dan selanjutnya akan diretrossesikan kembali kepada anggota Pool
sebagai Retrocessionaire maupun bukan anggota Pool. Beberapa contoh yang
berkaitan dengan cara kerja Pool yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
asuransi di Indonesia, adalah Pool untuk Asuransi Penerbangan Indonesia
(Indonesian Aviation Pool), asuransi terhadap risiko-risiko pasar (konsorsium
pasar), Custom Bond Pool, dan sebagainya.[18]
b.
Bentuk-Bentuk Reasuransi
1.
ReasuransiProposional
Reasuransi Proporsional adalah bentuk reasuransi atas suatu risiko
dengan pembagian saham yang telah ditetapkan, baik untuk Ceding Company maupun
Reasuradur. Tanggung jawab masing-masing pihak dalam suatu kerugian (klaim)
adalah sesuai dengan saham yang ditetapkan dalam pembagian premi dan
liabilitynya.
Contoh :
Sebuah gedung perkantoran diasuransikan kepada perusahaan asuransi
A, untuk risiko kebakaran dengan jumlah harga pertanggungan Rp. 2 Milyar dan
rate 1,5 %o per tahun serta pertanggungan dimulai sejak tanggal 1/1/98 -
1/1/99. Adapun batas kemampuan perusahaan asuransi sendiri (Own Retention)
untuk menanggung jenis risiko tersebut adalah Rp. 600 juta. Pada tanggal 30
Juli 1998 terjadi kebakaran yang mengakibatkan taksiran total kerugian -
berdasarkan penilain Independent Loss Adjuster - sebesar Rp. 1,5 Milyar.
Dalam contoh di atas, Ceding Company harus mengasuransikan jumlah
pertanggungan di atas Own Retention perusahaan asuransi A sebesar 1,4 Milyar,
dengan komposisi saham sebagai berikut :
Harga Pertanggungan : Rp. 2.000.000.000,-
(100%)
Own Retention : Rp. 600.000.000,- (30% of 100%)
Reasuradur : Rp. 1.400.000.000,- (70% of 100%)
Dengan demikian pembagian premi dan klaim berdasarkan proporsi di
atas adalah sebagai berikut :
Premi 100% : Rp.
2.000.000.000,- X 1,5%o = Rp. 3.000.000,-
Own Retention : Rp. 30% X Rp. 3.000.000,- = Rp. 900.000,-
Reasuradur : Rp. 70% X Rp. 3.000.000,- = Rp.
2.100.000,-
Klaim 100% : Rp. 1.500.000.000,-
Own Retention : 30% X Rp. 1.500.000.000,- = Rp. 450.000.000,
Reasuradur : 70% X Rp. 1.500.000.000,- = Rp.
1.050.000.000,
Berdasarkan uraian dan contoh tersebut di atas, hal-hal pokok dalam
bentuk reasuransi proporsional adalah:
-
Ceding
Company dan Reasuradur mempunyai kepentingan yang sama atas suatu risiko sesuai
dengan saham yang ditetapkan.
-
Dilakukan
berdasarkan Original Terms & Conditions of Contract (syarat dan kondisi
perjanjian asli), yaitu asuransi.
-
Dalam
prakteknya, reasuransi proporsional dipergunakan untuk penempatan reasuransi
secara facultative, Treaty (Quota Share dan Surplus), serta Facultative
Obligatory.
2.
ReasuransiNonproporsional
Dalam reasuransi non proporsional ini, Ceding Company dan
Reasuradur tidak membagi proporsi setiap kerugian (klaim) , premi, dan
liability, dalam suatu perbandingan yang tetap.
Tanggung jawab Reasuradur baru akan timbul dalam suatu kerugian,
apabila kerugian (klaim) tersebut telah melebihi suatu jumlah tertentu yang
telah ditetapkan oleh Ceding Company.
Meskipun Ceding Company harus menanggung suatu bagian dari suatu
kerugian yang menjadi kewajibannya (liability-nya) di bawah kontrak asuransi
yang telah dibuatnya atau diadakannya dengan Tertanggung-nya, bagian dari
kerugian yang melibatkan Ceding Company itu tidak harus melibatkan Reasuradur
dalam reasuransi non-proporsional. Ini dimungkinkan karena dalam bentuk
reasuransi seperti itu Ceding Company menetapkan suatu limit sebagai
retensinya, yakni bahwa Ceding Company akan menanggung setiap kerugian sampai
suatu jumlah tertentu yang telah ditetapkannya dan Reasuradur hanya akan
terlibat di atas jumlah tertentu tersebut.
Dengan demikian, dalam reasuransi non-proporsional:
a.
Pengaturan
Ceding Company dan Reasuradur dalam hal premi dan liability tidak selalu sama
atau sebanding.
b.
Tidak
mengikuti perjanjian aslinya antara tertanggung dan Penanggung langsung
(Insurer).
c.
Bentuk-bentuk
utama asuransi non proporsional biasanya digunakan dalam Excess of Loss
Reinssurance Treaty (Excess of Loss, Stop Loss, Aggregate Excess of Loss).[19]
I. Pelaku Usaha Reasuransi
Kegiatan penutupan transaksi
reasuransi hanya dapat dilakukan oleh pelaku-pelaku usaha yang tersebut dibawah
ini.
a. Perusahaan reasuransi hanya dapat
menyelenggarakan usaha pertanggungan ulang ( Pasal 4 Undang-Undang Bisnis
Asuransi)
b. Perusahaan asuransi (Pasal 4
Undang-Undang Bisnis Asuransi)
c. Perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi dapat melakukan upaya bersama untuk menutup suatu jenis tisiko
khusus (Pasal 16A PP No. 63 Tahun 1999)
d. Perusahaan pialang reasuransi yang
bertindak sebagai wakil perusahaan reasuransi dalam rangka transaksi yang
berkaitan dengan perjanjian reasuransi, bukan dalam kedudukan sebagai penanggung
risiko (Pasal 5 Undang-Undang Bisnis Asuransi)
Pelaku bisnis reasuransi pada umumnya bersifat universal
sehingga pelakunya adalah sama, yaitu perusahaan asuransi, perusahaan
reasuransi dengan atau tanpa pialang reasuransi sebagai perantara, kecuali pada
negara-negara yang mengizinkan pialang asuransi merangkap sebagai pialang
reasuransi dibawah satu izin usaha sehingga terdapat pula kehadiran pialang
asuransi dan pialang reasuransi yang demikian.[20]
J. Hak dan Kewajiban Perusahaan
Reasuransi apabila terjadi Likuidisi
Menurut pasal 16 PP No. 73 tahun
1992 perjanjian asuransi harus menyatakan bahwa dalam perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi
di likuidisi, ak dan kewajiban masing-masing yang timbul dala transaksi
reasuransi tetao mengikat sampai dengan saat salah satu pihak menikmati
keuntungan dari pembebanan kewajiban kepada pihak lainnya apabila pihak lainnya
tersebut dilikuidisi. Tidak menemukan aturan kainnya apabila pihak lainnya
tersebut dalam Insurance CodeFilipina dan Insurance Act 1996 Malaysia.[21]
K. Penyelesaian klain reasuransi
Penyelesaian klaim reasuransi akan tergantung pada bentuk atau sifat transaksi reasuransi yang dijalankanoleh
Ceding Company danReinsurernya, yakni :
·
Treaty atau Facultative
·
Proportional atau Non – Proportional
·
Kondisidaripada Treaty – nya
1. Klaim – klaim Facultative harus
dapat diselesaikan oleh Reinsurer segera, karena dalam penempatan businessnya
semula sifatnya adalah “ individual “
atau khusus, dengan syarat pembayaran premi yang khusus pula, yakni
segera.
Dalam klaim Facultative
iniapabiladikehendaki, Reinsurer akan banyak ikut campur dalam penanganannya, langsung dan karenanya merasa perlu untuk memeriksa klaim itu langsung juga.
Hal yang demikian apabila banyak baiknya /
positifnya, karena dengan demikian justru penanganan serta penyelesaiannya akan
menjadi objektif dan sejak semula sudah dapat dimusyawarahkan karena ditangani
bersama itu, sehingga Reinsurer yang pada umumnya mempunyai saham lebih besar
itu akan lebih mudah pula dalam membayar klaim sesuai dengan bagiannya.
2. Klaim – klaim Treaty non
proportional penyelesaiannyaadalahsegera pula, karena dalam hal pembayaran
premi reasuransi nya dilakukan segera pula oleh Ceding Company, bahkan
dilakukan dimuka( paid in advance ).
3. Klaim – klaim Treaty proportional
untuk penyelesaiannya tergantung pada bunyi kondisi – klausula yang terdapat
dalam Treaty Wordings – nya, antara lain tentang :
·
Reporting atau Non Reporting
·
Accounts
·
Claim Settlement, survey, dansebagainya
·
Cash Loss, dansebagainya.[22]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Reasuransi ialah mempertanggungkan
kembali sejumlah risiko oleh suatu perusahaan asuransi kepada perusahaan
asuransi lainnya (reinsurer). Jika menurut Undang-Undang Bisnis
Asuransi, usaha reasuransi merupakan usaha yang memberikan jasa dalam
pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi.
Pada reasuransi ada asuransi kerugian umum, yang menliputi asuransi kebakaran; asuransi laut;
dan asuransi mobil. Kemudian dalam
Pasal 16 ayat (1) PP No. 73 Tahun 1992 ditentukan bahwa setiap perjanjian
reasuransi harus dibuat secara tertulis dan tidak merupakan perjanjian yang
menjanjikan keuntungan pasti bagi penanggung ulang.
Bentuk perjanjian reasuransi dapat dibagi dalam dua penggolongan
utama, yaitu reasuransi fakultatif dan reasuransi treati atau reasuransi
automatis.
B.
Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan
dalam penyusunan makalah ini tetapi kenyataannya masih banyak kekurangan yang
perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang
penulis miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Abbas
Salim, M.A. Asuransi dan Manajemen Risiko (Jakarta: Penerbit PT
Rajagrafindo Persada. 2012)
Dr. A. Junaedi
Ganie, S.E., S.H., M.H., ANZIF (Snr. Assoc.), CIP, AAIK (HC), ChFC, CLU. Hukum
Asuransi Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. 2013)
Azis Abdul,
Potensi Sengketa Klaim Asuransi,
Sinargrafika: jakarta, 2008
[1] Drs. H. Abbas Salim, M.A. Asuransi dan Manajemen Risiko
(Jakarta: Penerbit PT Rajagrafindo Persada. 2012) hal 105
[2] Dr. A. Junaedi Ganie, S.E., S.H., M.H., ANZIF (Snr. Assoc.), CIP, AAIK
(HC), ChFC, CLU. Hukum Asuransi Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika. 2013) hal 209
[3] Dr. A. Junaedi Ganie, S.E., S.H., M.H., ANZIF (Snr. Assoc.), CIP, AAIK
(HC), ChFC, CLU. Hukum Asuransi Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika. 2013) hal 210
[4] Dr. A. Junaedi Ganie, S.E., S.H., M.H., ANZIF (Snr. Assoc.), CIP, AAIK
(HC), ChFC, CLU. Hukum Asuransi Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika. 2013) hal 209
[5] Dr. A. Junaedi Ganie, S.E., S.H., M.H., ANZIF (Snr. Assoc.), CIP, AAIK
(HC), ChFC, CLU. Hukum Asuransi Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika. 2013) hal 209
[6] Dr. A. Junaedi Ganie, S.E., S.H., M.H., ANZIF (Snr. Assoc.), CIP, AAIK
(HC), ChFC, CLU. Hukum Asuransi Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika. 2013) hal 209-210
[7] Drs. H. Abbas Salim, M.A. Asuransi dan Manajemen Risiko
(Jakarta: Penerbit PT Rajagrafindo Persada. 2012) hal 107
[8] Drs. H. Abbas Salim, M.A. Asuransi dan Manajemen Risiko
(Jakarta: Penerbit PT Rajagrafindo Persada. 2012) hal 107-110
[9] Drs. H. Abbas Salim, M.A. Asuransi
dan Manajemen Risiko (Jakarta:Penerbit PT Rajagrafindo Persada. 2012) hal
112
[10]Dr. A. Junaedi Ganie, S.E, S.H., M.H., ANZIF (Snr.Assoc.), CIP, AAIK
(HC), ChFC, CLU. Hukum Asuransi Indonesia
(Jakarta :Penerbit Sinar Grafika. 2013) hal 211
[11]Dr. A. Junaedi Ganie, S.E, S.H., M.H., ANZIF (Snr.Assoc.), CIP, AAIK
(HC), ChFC, CLU. Hukum Asuransi Indonesia
(Jakarta :Penerbit Sinar Grafika. 2013) hal 211
[12] Dr. A. Junaedi Ganie, S.E., S.H., M.H., ANZIF (Snr. Assoc.), CIP, AAIK
(HC), ChFC, CLU. Hukum Asuransi Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika. 2013) hal 214-219
[15]Dr. A. Junaedi Ganie, S.E, S.H., M.H., ANZIF (Snr.Assoc.), CIP, AAIK
(HC), ChFC, CLU. Hukum Asuransi Indonesia
(Jakarta :Penerbit Sinar Grafika. 2013) hal 213-214
[16]Dr. A. Junaedi Ganie, S.E, S.H., M.H., ANZIF (Snr.Assoc.), CIP, AAIK
(HC), ChFC, CLU. Hukum Asuransi Indonesia
(Jakarta :Penerbit Sinar Grafika. 2013) hal 214
[17]Dr. A. Junaedi Ganie, S.E., S.H., M.H., ANZIF (Snr. Assoc.), CIP, AAIK
(HC), ChFC, CLU. Hukum Asuransi Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika. 2013) hal 219-220
[18]https://www.akademiasuransi.org/2012/11/metode-dan-cara-penempatan-reasuransi.html?m=1
[19]https://www.akademiasuransi.org/2012/11/bentuk-bentuk-reasuransi.html?m=1
[20] Dr. A. Junaedi Ganie, S.E., S.H., M.H., ANZIF (Snr. Assoc.), CIP, AAIK
(HC), ChFC, CLU. Hukum Asuransi Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika. 2013) hlm 220.
[21] Dr. A. Junaedi Ganie, S.E., S.H., M.H., ANZIF (Snr. Assoc.), CIP, AAIK
(HC), ChFC, CLU. Hukum Asuransi Indonesia (Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika. 2013) hlm 223.
[22] Azisabdul, Potensisengketaklaimasuransi. Sinargrafika, jakarta, 2008
Semoga membantu tugas kalian ya gengs <3
ReplyDelete